Senin, 17 Mei 2010

KETIKA ORGANISASI INTRA KAMPUS TERKONTAMINASI OLEH ZAMAN HEDONISME

sebagai salah satu kader HMI komisariat UNIVERSITAS GUNADARMA cab.DEPOK. saya merasa iba melihat mahasiswa sekarang saat ini yang kurang peduli dengan keadaan sekitar, dan terlalu acuh oleh semua kegiatan yang berbau organisasi...,apakah mereka bisa disebut mahasiswa??
kalau cuma belajar saja di lingkungan kampus tidak jauh beda dengan para pelajar smu, pada dasarnya mereka masuk salah satu universitas atau perguruan tinggi pola pikir mereka haruslah di rubah,apakah mereka tidak tau apa artinya seseorang mahasiswa? apakah mereka mengerti artinya TRIDHARMA PERGURUAN TINGGI???
mereka lebih senang berpola hidup shoping mania, clubing, dan pergaulan bebas yang tidak memperdulikan hidup bermasyarakat.
point pentingnya.
di kampus saya sulitnya regenerasi perputaran organisasi intra kampus terlihat lebih nyentrik,fenomena tidak pedulinya dengan kampus dan tidak ada yang mau menjadi pengurus BEM fakultas padahal papan informasi tentang pencalonan ketua BEM fakultas sudah jauh-jauh hari d'pampang, tapi tetap saja tidak ada peminatnya.

yakusa...
Mengapa HMI Terlihat Beringas?
Selasa, 09/03/2010 09:00 WIB - Sumantri

Dalam beberapa hari terakhir ini, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) seakan merebut panggung gerakan, utamanya gerakan mahasiswa. Sepanjang dua hari penuh sebuah televisi menayangkan secara langsung peristiwa yang melibatkan aktivis-aktivis HMI. Dari hanya sebuah kronik di Makasar, lalu menyebar ke seluruh wilayah di Indonesia, di mana cabang HMI nyaris selalu bisa ditemui.
Hanya sayang, peristiwa dimaksud adalah bentrok berkepanjangan antara aktivis HMI di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauidin Makassar dengan aparat keamanan, plus anggota masyarakat pascademo kasus Century. Kronologinya, mahasiswa yang demo di jalan depan kampus memblokir jalan tersebut. Konon sejumlah anggota masyarakat tidak terima, lalu menyerang demonstran. Bentrokan meluas. Mahasiswa yang bertahan di kampus baku lempar batu dengan aparat plus anggota masyarakat ini.
Namun, ternyata tidak berhenti sampai di sini. Sekretariat HMI diobrak-abrik aparat kepolisian berpakaian preman. Aktivis HMI ganti membalas dengan menyerbu kantor polisi terdekat dan merusaknya. Kehebohan berulang hingga seharian penuh kemudian, atau dua hari berturut-turut. Peristiwanya mirip rekaman kaset yang diputar ulang, mahasiswa yang bertahan di dalam kampus perang batu melawan sejumlah anggota masyarakat yang berjubel ribuan orang memenuhi jalan raya.
Aktivitas gerakan mahasiswa, termasuk para aktivis HMI, memang sedang giat-giatnya turun ke jalan terkait kasus bailout Century yang diduga menyeret Sri Mulyani dan Boediono. Berbagai demonstrasi, dari daerah hingga pusat, para aktivis HMI bagian dari yang paling aktif. Keuntungan tersendiri bagi HMI yang memiliki cabang sangat banyak (200 lebih) dan anggota mencapai ratusan ribu, sehingga jika digerakkan seluruhnya akan mengesankan HMI menguasai panggung perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. Modal sebesar ini tak banyak dimiliki oleh organisasi lain, termasuk yang mewadahi mahasiswa.
Tidak heran aksi solidaritas pun merebak, beberapa di antaranya diwarnai bentrok kecil-kecilan dengan aparat. Mulai dari Jakarta hingga Riau atau bahkan kota kecil macam Cianjur.
Penuh Perhitungan
Meskipun demikian, menarik mencermati adanya ribut-ribut yang melibatkan massa banyak di mana HMI menjadi aktor utamanya. HMI tidak memiliki, atau setidaknya sedikit saja, “gen” untuk bentrok apalagi pembuat onar dan kisruh macam yang terjadi di Makasar. Kecuali justru pada saat agenda-agenda internal sendiri, seperti Konfercab atau kongres yang biasa diwarnai kehebohan tertentu.
HMI dikenal sebagai organ mahasiswa yang penuh perhitungan dan selalu menimbang berbagai ekses saat melibatkan diri dalam isu-isu krusial. Pengalaman penulis, baik sebagai aktivis HMI maupun sesudahnya, tidak mudah bagi organisasi ini ikut dalam aliansi bersama organ mahasiswa lain. Untung ruginya dicermati dan dihitung betul guna menghindari organisasi tercebur atau terjebak situasi yang tak diinginkan.
Aktivis-aktivis HMI juga dibekali kemampuan retorika yang mumpuni sesuai tingkatannya. Pembahasan remeh menurut organ mahasiswa lain dapat menjadi perbincangan seru di HMI, meski berimbas pada penggunaan waktu yang berlebihan. HMI memang organisasi kader yang berkonsentrasi pada peningkatan kapasitas kader, terutama dalam hal kemampuan retorik.
Contoh sempurna produk HMI bisa kita sematkan pada sosok Anas Urbaningrum. Mantan Ketua Umum PB HMI ini dikenal sangat tenang saat menyikapi tuduhan-tuduhan paling miring sekalipun, baik pada atasannya yaitu Presiden SBY maupun Partai Demokrat, tempat dirinya bernaung. Dalam debat-debat panas di televisi, Anas selalu tampil dingin dan tak pernah terlihat meledak-ledak.
Selain itu, HMI memiliki koneksi teramat kuat dengan para alumninya yang berhimpun dalam KAHMI, organisasi alumni paling berpengaruh dibanding wadah serupa yang lain. Pengurus-pengurus HMI dari cabang sampai pusat biasanya berhubungan erat dengan sejumlah tokoh dan pejabat alumni HMI, yang biasanya berjumlah cukup banyak.
Gambaran ini dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa aktivis HMI bukanlah anak nakal, apalagi radikal macam aktivis dari organisasi mahasiswa beraliran kiri. HMI adalah contoh organisasi moderat dan selalu berada di tengah-tengah, sehingga terlihat kiri bagi pihak kanan, tapi juga kanan bagi pihak kiri.
Tapi, lalu kenapa belakangan HMI kelihatan beringas?
Beberapa Dugaan
Melihat latar belakang aktivis HMI yang biasanya tampil tenang, memang mengherankan, terutama bagi sesama aktivis gerakan mahasiswa, mendapati HMI dapat bertindak brutal. Mereka tiba-tiba berlaku seperti aktivis mahasiswa semasa gerakan reformasi 1998 yang tak segan bertarung fisik dengan aparat. Aktivis-aktivis HMI ini bagaikan tak mengenali lagi gennya sebagai organisasi moderat, yang secara sinis disebut oportunis.
Ada beberapa dugaan. Pertama, tempat kejadian memiliki pengaruh kuat. Makassar selama ini dikenal sebagai sumbu panas gerakan mahasiswa di mana nyaris demonstrasi diwarnai bentrokan luas. Tak pelak, HMI yang santun sekalipun terkena imbasnya. Berada dalam habitat gerakan yang terus membara, organ mahasiswa manapun terseret dalam ruang lingkup karakter yang mirip-mirip.
Kedua, seperti yang disampaikan Ketua Umum PB HMI Arip Musthopa, ada upaya kriminalisasi gerakan mahasiswa terkait kasus Century. Ada desain kelompok tertentu untuk mencoreng citra gerakan mahasiswa sebagai biang kerusuhan. Bisa ditebak, kelompok tertentu itu adalah pihak-pihak yang tidak senang kasus Century diusik terus-menerus, terutama oleh gerakan mahasiswa.
Indikasi penyerangan sekretariat HMI di Makassar yang salah satunya anggota Densus 88, bagi Arip, merupakan penanda jelas ada pihak berkepentingan agar kericuhan tak terhenti. Penyerangan itu merupakan provokasi agar peristiwa di hari sebelumnya berulang. Terlibatnya massa preman bukan warga lokal yang aktif menyerang mahasiswa sekitar kampus adalah tanda lainnya, yakni guna mengesankan masyarakat anti terhadap aksi-aksi mahasiswa.
Pilihan kenapa HMI yang disasar juga bukan tanpa alasan. Peta gerakan mahasiswa di satu sisi memang tidak lagi dikuasai komite-komite aksi independen seperti halnya di masa 1998 dan sesudahnya. Kelompok OKP tradisional macam HMI, GMNI, PMKRI dan lain-lain dengan sendirinya tampil ke depan. Di antara OKP-OKP ini, HMI merupakan organisasi paling berpengaruh.
Terlepas dari faktor-faktor eksternal tersebut, bisa jadi kebrutalan ini didorong oleh dinamika internal HMI sendiri. Setelah menikmati previlese puluhan tahun selama Orde Baru baik di kampus maupun di pemerintahan, semenjak reformasi HMI lumayan goyah dan menjadi bulan-bulanan organ mahasiswa lain yang merasa lebih proaktif menyikapi keadaan. Gejolak muda semoderat apapun pada waktu-waktu tertentu bakal terusik, manakala sejawatnya sesama aktivis mahasiswa lebih luwes melakukan respons politik.
Penguasaan kampus pun melalui BEM memudar oleh kehadiran KAMMI yang lebih terorganisasi dan sangat dominan di kampus-kampus negeri. Dengan demikian, ruang aktual HMI kian menyempit. Dengan kondisi ini, tanpa aktivitas memadai di wilayah eksternal jelas mengganggu eksistensi organisasi dan mudah dituduh terlalu tunduk pada para alumninya. Beberapa aktivis HMI mungkin saja gerah dengan kecenderungan macam begini.
Performa HMI sekarang, bahkan, tetap saja diselimuti kecurigaan akan adanya perintah dari para abang-abang KAHMI di Jakarta. Tuduhan dan kecurigaan ini tentu hanya para aktivis HMI yang bisa menjawabnya.

Oleh Joko Sumantri Mantan aktivis HMI
di Surakarta, bergiat di Komite Pusat Perhimpunan Rakyat
Pekerja, Jakarta
Indonesia, HMI dan Krisis Kepemimpinan Kita

Enam puluh tahun lalu, tepatnya 5 Februari 1947, Himpunan Mahasiswa Islam didirikan oleh Lafran Pane dan beberapa orang sahabatnya. Sebuah ikhtiar mulia yang dimaksudkan untuk membantu perjuangan negara ini mengisi kemerdekaan melalui jalur kebangsaan dan keummatan. Tak pelak, salah satunya karena landasan perjuangan “model” inilah HMI kemudian mendapat “tempat” di hati para mahasiswa islam di Indonesia.

Sebagai salah satu organisasi kemahasiswaan terbesar sekaligus tertua di Indonesia, HMI senantiasa bergelut dengan dinamika kesejarahan bangsa ini. Karena memiliki kuantitas anggota dengan mekanisme kaderisasi tersendiri, HMI niscaya melahirkan banyak kader yang memiliki kualitas yang tidak bisa dianggap sepele. Dalam kancah kebangsaan, kader-kader HMI senantiasa mewarnai. Begitu pun di banyak bidang kebangsaan lainnya.

Sebaran kader HMI ini sekaligus memberi efek resiproksial terhadap eksistensi HMI sebagai sebuah institusi tersendiri. Alumni-alumni HMI banyak mengisi posisi-posisi structural pemerintahan, ekonomi, politik dan social kemasyarakatan lainnya. Ikatan emosional yang sangat kuat antara “kanda” dan “dinda” di HMI menemui relungnya ketika ada kebutuhan antara masing-masing entitas, baik secara personal maupun institusional.

Kesejarahan HMI dengan KAHMI (Korps Alumni HMI) – sebuah institusi kealumnian HMI yang independen – pada akhirnya dapat dipandang sebagai sebuah “kemesraan” institusional dan emosional yang – pada beberapa kasus, justru melahirkan polemik baru. Mulai dari beragam pertanyaan yang menggugat independensi institusi HMI, hingga persoalan kualitas kader yang tidak lagi seperti pada awal-awal pergerakan HMI; militan, cerdas dan istiqomah, – akibat semakin pudarnya perhatian institusi terhadap kebutuhan internal akan kaderisasi, sekaligus menggambarkan pengaruh eksternal kelembagaan yang tidak mampu difiltrasi secara adekuat.

Pada gilirannya, sudah hampir bisa ditebak, kebesaran nama HMI bukan lagi terletak pada kualitas kader-kadernya, tetapi justru mulai bergeser pada kuantitas keanggotaan saja. HMI perlahan mulai menapaki aras kemunduran.

Kelemahan yang kemudian justru mengkhawatirkan adalah relatif tidak disadarinya “kemunduran” ini pada tingkatan internal HMI. Sebagian besar kader-kader HMI masih terbuai kebesaran nama HMI sebagaimana dituliskan sejarah. Sebuah euphoria yang cukup menyesatkan, terlebih ketika dihadapkan dengan realitas kebangsaan sekarang ini pada mana kualitas kader menjadi kebutuhan untuk bisa eksis dan menjalankan peran sebagai kader.

HMI Paska Reformasi
Pada saat yang sama, ketika HMI kita sadari sedang mengalami “kemunduran”, tantangan kebangsaan justru semakin besar. Sejak genderang reformasi ditabuh pada tahun 1998, perjalanan bangsa ini tak kunjung henti dilanda masalah. Kedukaan melanda hampir setiap generasi.

Bukan saja malnutrisi yang semakin merajalela, melainkan hingga pada massifnya kemiskinan (financial-intelektual-emosional-spiritual) rakyat akibat lemahnya daya dukung negara bagi warganya. Pada keadaan tertentu, terlihat negara seakan sedang melakukan praktek “pembiaran” (state neglect) terhadap semua masalah yang ada.

Dinamika kebangsaan yang senantiasa bergolak, dengan iklim sosial-politik yang semakin kompleks, justru diperparah dengan krisis keteladanan pada pemimpin-pemimpin kita. Ironi yang menyakitkan. Pada saat rakyat hampir kehilangan pegangan, justru pemimpin-pemimpin kita secara bersemangat mengeksplorasi sumber daya yang ada, tanpa pernah berpikir bahwa negeri ini masih menyisakan banyak sekali generasi muda yang kelak akan menerima “dampak” perbuatan mereka.

Apa yang dibayangkan rakyat sebagai “orde reformasi” – supremasi hukum, clean government, pekerjaan layak, pendidikan dan kesehatan terakses – akhirnya hanya berbuah fatamorgana, sebagaimana Iwan Fals menyebutnya sebagai hanya “orde yang paling baru”. Tidak banyk yang signifikan berubah. Mental kita masih jauh dari bisa diandalkan membawa bangsa ini menghindari keterpurukan. Kita masih bergulat dengan krisis, terutama krisis kepemimpinan.

Di mana generasi muda pro reformasi itu? Pertanyaan yang menarik. Ternyata perjuangan mahasiswa yang mewakili generasi pro-reformasi mulai simpang-siur sejak implementasi otonomi daerah. Di banyak wilayah, organisasi kemahasiswaan menjadi sangat mudah terbelah hanya karena perbedaan garis politik – sebuah pilihan yang seharusnya diambil secara sadar – dari kandidat yang mereka gusung untuk slogan “perbaikan” daerahnya.

Tak dapat disangkal, implementasi otonomi daerah cukup mengganggu stabilitas pergerakan mahasiswa di tingkatan nasional. Ini menjadi salah satu alasan yang cukup masuk akal ketika kita hubungkan dengan sangat lemahnya proses pengawalan dan pengawasan agenda reformasi oleh mahasiswa.

Demarkasi kampus dengan wilayah politik praktis di daerahnya semakin samar dan membuahkan banyak aktivis mahasiswa menjadi (sangat) oportunistik; mau cari untung sendiri. Kondisi ini benar-benar menggambarkan betapa secara internal, sebenarnya mahasiswa belum cukup siap dengan agenda reformasi yang sebelumnya mereka gusung beramai-ramai. Meski bukan secara keseluruhan, pada tingkatan lokal, mahasiswa tidak bisa berbuat banyak, apatah lagi untuk skala nasional.

Kita boleh menilai realitas ini sebagai sebuah arena dimana siapa pun pemegang kekuasaan akan menjadi seenaknya saja berbuat. Bisa kita bayangkan lemahnya advokasi dan kritisisasi terhadap aneka kebijakan pemerintah yang nyata-nyata bertolak belakang dengan agenda reformasi sebelumnya. Semua pihak seakan mencari selamat sendiri-sendiri. Juga (barangkali), keuntungan sendiri-sendiri. Termasuk mahasiswa, meski tidak keseluruhannya.

Milad HMI
Sebagai organisasi kemahasiswaan yang selalu berjalan seiring dengan sejarah kebangsaan ini, tentunya HMI memiliki kontribusi yang cukup penting di dalamnya. Bukan saja kontribusi positif, melainkan juga sejumlah kontribusi negatif yang dengan lapang dada mesti diterima dan diakui. Banyaknya kader HMI yang memegang peran penting dalam struktur pemerintahan/birokrasi, politik dan ekonomi serta di banyak bidang lainnya, tentu juga membuka peluang besar untuk terjadinya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme antar sesama kader atau alumni HMI. Sebuah realitas yang secara runtut juga sedikit demi sedikit mulai dipraktekkan oleh kader-kader muda HMI pada levelnya masing-masing.

Kerentanan seperti ini seharusnya menjadi bahan introspeks bagi HMI secara khusus dan organisasi perjuangan lainnya secara umum. Keadaan ini meniscayakan hadirnya sebuah kekuatan alternatif yang senantiasa kukuh memegang khittah pergerakannya. Konsistensi peran dan fungsi dalam perjalanan kebangsaan ini, tak dapat dimungkiri, pernah dilakoni HMI, dan tidak mustahil juga bisa tetap diaktori hingga masa-masa mendatang asalkan segera dilakukan evaluasi dan proyeksi secara internal dalam tubuh HMI. Satu hal yang sangat penting adalah bahwa segala bentuk evaluasi terhadap HMI mesti dilakukan secara jujur dan bijaksana, juga tanpa tendensi. Semua pihak mesti diberi kesempatan untuk mengevaluasi HMI, termasuk juga mereka yang bukan berasal dari HMI.

Momentum keorganisasian HMI secara internal dapat dipandang menjadi wahana strategis untuk mulai melakukan retrospektif; mengevaluasi perjalanan kelembagaan untuk dijadikan pelajaran bagi kelanjutan eksistensi HMI pada masa mendatang. Keniscayaan retrospektif ini berlaku pada semua tingkatan struktural HMI, mulai dari Komisariat, Koordinator Komisariat, Cabang, Badan Koordinasi hingga Pengurus Besar tak terkecuali.

Milad Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang ke-60 tahun ini seharusnya dijadikan titik tolak membenahi diri (internal) sebelum terjun (lagi) dalam kancah kebangsaan. Jika harus ekstrim, HMI (barangkali) perlu mengeluarkan instruksi kelembagaan kepada semua kader untuk senatiasa menjaga dan mempertahankan citra ke-HMI-an dalam pribadi dan keseharian mereka.

Kader HMI sudah seharusnya menjadi panutan dan suri tauladan bagi masyarakat di lingkungannya. HMI seharusnya sudah mampu melakoni perubahan dan mengaktori ritme perbaikan di negeri mayoritas muslim ini. Kita barangkali sepakat, HMI memiliki tanggungjawab sejarah yang lebih besar dibandingkan dengan entitas pergerakan lainnya, khususnya dalam menjaga kontinuitas kebangsaan dan memerangi segala bentuk ketidakmerdekaan dalam kehidupan rakyat. Bukankah demikian?

Dengan segala harapan di atas, peringatan Milad HMI ke-60 minimal tidak lagi hanya menjadi seremonial yang miskin makna seperti sebelum-sebelumnya. Kita berharap besar, setidaknya milad kali ini kembali bisa menegaskan komitmen kita untuk memperjuangkan tercapainya tujuan kita ber-HMI. Bukan saatnya lagi, saya pikir, HMI dan kader-kadernya terus “mengangkangi” pekerjaan-pekerjaan yang bukan menjadi tujuan pembentukannya. Tujuan HMI sangat jelas, yaitu semata-mata agar terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.

Dengan demikian, masihkah kita “rela” ber-HMI? Wallahau a’lam bisshawab.

sumber :
astaqauliyah.com/2007/02/indonesia-hmi-dan-krisis-kepemimpinan-kita

Kamis, 18 Maret 2010

ciri – ciri profesionalisme dan kode etik profesional dalam teknologi informasi.

Etika merupakan suatu cabang filosofi yang berkaitan dengan apa saja yang dipertimbangkan baik dan salah. Ada beberapa definisi mengenai etika antara lain :

* Kode moral dari suatu profesi tertentu
* Standar penyelenggaraan suatu profesi tertentu
* Persetujuan diantara manusia untuk melakukan yang benar dan menghindari yang salah.

Salah satu yang harus dipahami adalah bahwa apa yang tidak etis tidak berarti illegal. Dalam lingkungan yang kompleks, definisi benar dan salah tidak selalu jelas. Juga perbedaan antara illegal dan tidak beretika tidak selalu jelas.

Adapun ciri-ciri seorang profesional di bidang IT adalah :

* Memiliki pengetahuan yang tinggi di bidang TI
* Memiliki ketrampilan yang tinggi di bidang TI
* Memiliki pengetahuan yang luas tentang manusia dan masyarakat, budaya, seni, sejarah dan komunikasi
* Tanggap thd masalah client, faham thd isyu-isyu etis serta tata nilai kilen-nya
* Mampu melakukan pendekatan multidispliner
* Mampu bekerja sama
* Bekerja dibawah disiplin etika
* Mampu mengambil keputusan didasarkan kepada kode etik, bila dihadapkan pada situasi dimana pengambilan keputusan berakibat luas terhadap masyarakat

Kode Etik IT Profesional :

Kode etik merupakan sekumpulan prinsip yang harus diikuti sebagai petunjuk bagi karyawan perusahaan atau anggota profesi. Beragamnya penerapan teknologi informasi dan meningkatnya penggunaan teknologi telah menimbulkan berbagai variasi isu etika.

dealnya, setiap bidang profesi memiliki rambu-rambu yang mengatur bagaimana seorang profesional berfikir dan bertindak. Dalam beberapa bidang profesi, seperti kedokteran, jurnalistik, dan hukum, rambu-rambu ini telah disepakati bersama para profesionalnya dan dituangkan ke dalam Kode Etik. Seseorang yang melanggar Kode Etik dinyatakan melakukan malpraktek dan bisa mendapatkan sangsi tergantung kepada kekuatan Kode Etik itu di mata hukum. Sangsi yang dikenakan adalah mulai dari yang paling ringan, yaitu sekedar mendapat sebutan “tidak profesional” sampai pada pencabutan ijin praktek, bahkan hukuman pidana.

Sebagai salah satu bidang profesi, Information Technology (IT) bukan pengecualian, diperlukan rambu-rambu tersebut yang mengatur bagaimana para IT profesional ini melakukan kegiatannya. Sejauh yang saya ketahui, belum ada Kode Etik khusus yang ditujukan kepada IT Profesional di Indonesia. Memang sudah ada beberapa kegiatan yang mengarah ke terbentuknya Kode Etik ini, namun usahanya belum sampai menghasilkan suatu kesepakatan. Dalam tulisan ini, saya ingin memusatkan perhatian kepada Kode Etik yang dibuat oleh IEEE Computer Society dan ACM yang ditujukan khusus kepada Software Engineer sebagai salah satu bidang yang perannya makin meningkat di IT.

Kode Etik juga mengatur hubungan kita dengan rekan kerja. Bahwa kita harus selalu fair dengan rekan kerja kita. Tidak bolehlah kita sengaja menjerumuskan rekan kerja kita dengan memberi data atau informasi yang keliru. Persaingan yang tidak sehat ini akan merusak profesi secara umum apabila dibiarkan berkembang.

Karyawan IT di client mestinya juga mengadopsi Kode Etik tersebut, sehingga bisa terjalin hubungan profesional antara konsultan dengan client. Bertindak fair terhadap kolega juga berlaku bagi karyawan IT di organisasi client dalam memperlakukan vendornya. Apabila dua perusahaan telah sepakat untuk bekerja sama membangun suatu software, maka para profesional IT di kedua perusahaan tersebut harus dapat bekerja sama dengan fair sebagai sesama profesional IT .

Tujuan Kode Etika Profesi

Adapun yang menjadi tujuan pokok dari rumusan etika yang dituangkan dalam kode etik (Code of conduct) profesi adalah:
1. Standar-standar etika menjelaskan dan menetapkan tanggung jawab terhadap klien, institusi, dan masyarakat pada umumnya
2. Standar-standar etika membantu tenaga ahli profesi dalam menentukan apa yang harus mereka perbuat kalau mereka menghadapi dilema-dilema etika dalam pekerjaan
3. Standa-standar etika membiarkan profesi menjaga reputasi atau nama dan fungsi-fungsi profesi dalam masyarakat melawan kelakuan-kelakuan yang jahat dari anggota-anggota tertentu
4. Standar-standar etika mencerminkan / membayangkan pengharapan moral-moral dari komunitas, dengan demikian standar-standar etika menjamin bahwa para

di ambil dari berbagai sumber:
1. http://irmarr.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/11609/Etika%5B1%5D.doc.
2. mkusuma.staff.gunadarma.ac.id/.../files/.../W01-Pengertian+Etika.pdf
3.
Cyber Crime PDF Cetak E-mail
Cyber Crime dan Upaya Antisipasinya Secara Yuridis (I)

Pesatnya perkembangan di bidang teknologi informasi saat ini merupakan dampak dari semakin kompleksnya kebutuhan manusia akan informasi itu sendiri. Dekatnya hubungan antara informasi dan teknologi jaringan komunikasi telah menghasilkan dunia maya yang amat luas yang biasa disebut dengan teknologi cyberspace. Teknologi ini berisikan kumpulan informasi yang dapat diakses oleh semua orang dalam bentuk jaringan-jaringan komputer yang disebut jaringan internet. Sebagai media penyedia informasi internet juga merupakan sarana kegiatan komunitas komersial terbesar dan terpesat pertumbuhannya.
Sistem jaringan memungkinkan setiap orang dapat mengetahui dan mengirimkan informasi secara cepat dan menghilangkan batas-batas teritorial suatu wilayah negara. Kepentingan yang ada bukan lagi sebatas kepentingan suatu bangsa semata, melainkan juga kepentingan regional bahkan internasional.
Perkembangan teknologi informasi yang terjadi pada hampir setiap negara sudah merupakan ciri global yang mengakibatkan hilangnya batas-batas negara (borderless). Negara yang sudah mempunyai infrastruktur jaringan informasi yang lebih memadai tentu telah menikmati hasil pengembangan teknologi informasinya, negara yang sedang berkembang dalam pengembangannya akan merasakan kecenderungan timbulnya neo-kolonialisme1. Hal tersebut menunjukan adanya pergeseran paradigma dimana jaringan informasi merupakan infrastruktur bagi perkembangan suatu negara.
Setiap negara harus menghadapi kenyataan bahwa informasi dunia saat ini dibangun berdasarkan suatu jaringan yang ditawarkaan oleh kemajuan bidang teknologi. Salah satu cara berpikir yang produktif adalah mendirikan usaha untuk menyediakan suatu infra struktur informasi yang baik di dalam negeri, yang kemudian dihubungkan dengan jaringan informasi global.
Kecenderungan mengglobalnya karakteristik teknologi informasi yang semakin "user friendly", akhirnya menjadikan Indonesia harus mengikuti pola tersebut. Karena teknologi informasi (khususnya dalam dimensi cyber) tidak akan mengkotak-kotak dan membentuk signifikasi karakter. Namun selalu ada gejala negatif dari setiap fenomena teknologi, salah satunya adalah aktifitas kejahatan. Bentuk kejahatan (crime) secara otomatis akan mengikuti untuk kemudian beradaptasi pada tingkat perkembangan teknologi. Salah satu contoh terbesar saat ini adalah kejahatan maya atau biasa disebut cyber crime. “Cyber crime” (tindak pidana mayantara ) merupakan bentuk fenomena baru dalam tindak kejahatan sebagai dampak langsung dari perkembangan teknologi informasi. Beberapa sebutan diberikan pada jenis kejahatan baru ini di dalam berbagai tulisan, antara lain: sebagai “ kejahatan dunia maya” (cyber-space/virtual-space offence), dimensi baru dari “hi-tech crime”, dimensi baru dari “transnational crime”, dan dimensi baru dari “white collar crime”2.
Kekhawatiran akan tindak kejahatan ini dirasakan di seluruh aspek bidang kehidupan. ITAC (Information Technology Assosiation of Canada) pada “International Information Industry Congress (IIIC) 2000 Millenium Congress” di Quebec tanggal 19 September 2000 menyatakan bahwa “ Cyber crime is a real and growing threat to economic and social development around the world. Information technology touches every aspect of human life and so can electronically enable crime”3.
Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah bahwa belum ada kerangka yang cukup signifikan dalam peraturan perundang-undangan untuk menjerat sang pelaku di dunia cyber karena sulitnya pembuktian. Belum ada pilar hukum yang mampu menangani tindak kejahatan mayantara ini (paling tidak untuk saat ini). Terlebih sosialisasi mengenai hukum cyber dimasyarakat masih sangat minim. Bandingkan dengan negara seperti Malaysia, Singapura atau Amerika yang telah mempunyai Undang-undang yang menetapkan ketentuan dunia cyber. Atau bahkan negara seperti India yang sudah mempunyai “polisi Cyber”. Kendati beberapa rancangan Undang-undang telah diusulkan ke DPR, namun hasil yang signifikan belum terwujud, terlebih belum tentu ada kesesuaian antara undang-undang yang akan dibuat dengan kondisi sosial yang terjadi dimasyarakat. Referensi dari beberapa negara yang sudah menetapkan undang-undang semacam ini dirasa masih belum menjamin keberhasilan penerapan di lapangan, karena pola pemetaan yang mengatur kejahatan cyber bukan sekedar kejahatan disuatu negara, melainkan juga menyangkut kejahatan antar kawasan dan antar negara.
Kejahatan cyber secara hukum bukanlah kejahatan sederhana karena tidak menggunakan sarana konvensional, tetapi menggunakan komputer dan internet. Sebuah data informal mensinyalir bahwa Indonesia adalah negara “hacker” terbesar ketiga di dunia. Sedangkan untuk Indonesia, kota “hacker” pertama diduduki oleh kota Semarang, kemudian kota Yogyakarta4
Pada kenyataannya “Cyber law” tidak terlalu diperdulikan oleh mayoritas bangsa di negara ini, karena yang terlibat dan berkepentingan terhadap konteks tersebut tidaklah terlalu besar. Pertanyaan menarik, berapa populasi masyarakat yg terlibat aktif dalam teknologi informasi, dijamin tidak lebih dari 10% dari populasi penduduk5. Mungkin hanya beberapa persen saja yang melakukan penyalahgunaan teknologi informasi khususnya dalam hal kejahatan maya. Dan itu berarti secara kuantitas aktifitas kejahatan maya masih relatif kecil.
Ada pertentangan yang sangat mendasar untuk menindak kejahatan seperti ini. Seperti dalam hukum, diperlukan adanya kepastian termasuk mengenai alat bukti kejahatan, tempat kejahatan dan korban dari tindak kejahatan tersebut, sedangkan dalam crime by computer ini semuanya serba maya tanpa ada batasan waktu dan tempat. Dan yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana perkembangan teknologi informasi dan relevansinya terhadap internet sebagai sarana utama kejahatan mayantara (cyber crime)? Dan bagaimana antisipasi pengaturan kejahatan maya (cyber crime) dibidang hukum?
Definisi Teknologi Informasi dan Dampaknya di Era Globalisasi
Istilah teknologi informasi sendiri pada dasarnya merupakan gabungan dua istilah dasar yaitu teknologi dan informasi. Teknologi dapat diartikan sebagai pelaksanaan ilmu, sinonim dengan ilmu terapan. Sedangkan pengertian informasi menurut Oxfoord English Dictionary, adalah “that of which one is apprised or told: intelligence, news”. Kamus lain menyatakan bahwa informasi adalah sesuatu yang dapat diketahui. Namun ada pula yang menekankan informasi sebagai transfer pengetahuan. Selain itu istilah tekmologi informasi juga memiliki arti yang lain sebagaimana diartikan oleh RUU teknologi informasi yang mengartikannya sebagai suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memanipulasi, mengumumkan, menganalisa, dan menyebarkan informasi deengan tujuan tertentu (Pasal 1 angka 1). Sedangkan informasi sendiri mencakup data, teks, image, suara, kode, program komputer, databases (Pasal 1 angka 2)6.
Adanya perbedaan definisi informasi dikarenakan pada hakekatnya informasi tidak dapat diuraikan (intangible), sedangkan informasi itu dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, yang diperoleh dari data dan observasi terhadap dunia sekitar kita serta diteruskan melalui komunikasi. Secara umum, teknologi Informasi dapat diartikan sebagai teknologi yang digunakan untuk menyimpan, menghasilkan, mengolah, serta menyebarkan informasi7. Definisi ini menganggap bahwa TI tergantung pada kombinasi komputasi dan teknologi telekomunikasi berbasis mikroeletronik.
Di era globalisasi ini hampir semua wacana yang ditiupkan tidak dapat terlepas dari pengaruh informatika global, hampir semua aspek kehidupan kita selalu berhubungan dengan perkembangan teknologi informatika. Sebagai bukti pendukung coba cermati teknologi internet yang mampu menyatukan dunia hanya ke dalam sebuah desa global. Di dunia belajar, TI sudah menjungkirbalikkan sejarah.. Selain itu teknologi informasi juga memiliki fungsi penting lainnya, yaitu fungsi automating, dimana ia membuat sejumlah cara kerja dan cara hidup menjadi lebih otomatis, ATM, telephone banking hanyalah merupakan salah satu kemudahan yang diberikan teknologi informasi sebagai automating. Tidak hanya itu, TI juga mempunyai fungsi informating. Membuat informasi berjalan cepat dan akurat. Bahkan bisa menyatukan dunia ke dalam sebuah sistem informasi life. Lebih dari sekedar menbantu penyebaran informasi, belakangan teknologi ini juga ikut memformat ulang cara kita hidup dan bekerja (reformating)8.
Dari beberapa bahasan di atas mengenai teknologi informasi maka dapat kita ketahui bahwa jika kita dapat memanfaatkan teknologi tersebut maka kita akan memperoleh kemudahan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Namun satu hal yang harus kita ingat bahwa perkembanan teknologi tersebut bukannya tanpa ada efek sampingnya, karena justru “crime is product of society it self” yang berarti bahwa semakin tinggi tingkat intelektualitas suatu masyarakat maka akan semakin canggih dan beraneka-ragam pulalah tingkat kejahatan yang dapat terjadi. Sebagi bukti nyata sekarang banyak negara yang dipusingkan oleh kejahatan melalui internet yang dikenal dengan istilah “cyber crime”, belum lagi dampak negatif teknologi informasi yang menyebabkan adanya penurunan moral dengan dijadikannya internet sebagai bisnis maya, dan banyak lagi dampak negatif dari teknologi informasi.
Oleh karena itulah maka kita sebagai bangsa yang masih baru dalam mengikuti perkembangan teknologi informasi haruslah pintar-pintar memilah dan memilih dalam penggunannya, karena alih-alih kita ingin memajukan bangsa dengan menjadikan teknologi informasi sebagai enlightening technology. Teknologi yang mencerahkan orang banyak. Justru yang terjadi malah sebaliknya, yaitu destructive technology. Teknologi yang mengakibatkan kehancuran bagi makhluk hidup.
Jika diperhatikan kondisi karakteristik pemakai internet Indonesia secara keselruhan dapat dikatakan baru dalam tahapan pengembangan industri internet ‘pemula’. Kondisi ini dapat berarti bisnis internet di Indonesia masih relatif fragile dan unpredictable.
Karena kurangnya pengetahuan sebagian besar masyarkat kita akan manfaat internet, yang terjadi justru bukan pemanfaatan internet sebagai sarana informating ataupun reformating melainkan hanya sebatas menggunakannya sebagai sarana hiburan . Sehingga internet bukan lagi menjadi sebuah enlightening technology tetapi justru dianggap sebagai penyebab turunnya moral bangsa, sebagai bukti dapat kita lihat dengan maraknya bisnis ‘gelap’ melalui internet. Sedangkan bagi sebagian computer intelectual internet justru disalahgunakan sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan yang menyebabkan kerugian bagi orang lain yang terkenal dengan istilah cyber crime.
Untuk itu memang masih diperlukan berbagai upaya untuk dapat mencapai tahapan industri internet yang matang (the Mature Market). Paling tidak ada dua macam upaya mendasar yang perlu dilakukan yaitu yang pertama melakukan edukasi pasar yang cenderung dillakukan masyarakat internet itu sendiri. Pendidikan ini mencakup pemahaman terhadap teknologi dan macam pelayanan yang diberikan sampai dengan dengan pengetahuan menjadi trouble shooter. Yang kedua adalah mengupayakan biaya rendah dan kemudahan serta keragaman mendapatkan pelayanan bagi setiap pemakai internet, mulai dari pengadaan infrastruktur sampai dengan yang berkaitan dengan software dan hardware. Sehingga apabila hal ini bisa dicapai maka diharapkan bangsa Indonesia akan lebih siap lagi dalam menghadapi era persaingan bebas dan globalisasi.
Perspektif dan Konsep Mengenai Kejahatan Mayantara (Cyber crime).
Dalam perkembangannya ternyata penggunaan internet tersebut membawa sisi negatif, dengan membuka peluang munculnya tindakan-tindakan anti sosial dan perilaku kejahatan sebagai aplikasi dari perkembangan internet, yang sering disebut cyber crime. Dalam dokumen A/CONF.187/1013, “Cyber Crime dalam arti sempit” (“ ini a narrow sense”) disebut “computer crime” dan “Cyber Crime dalam arti luas” (“in a Broader sense”) disebut computer related crime (CRC).
Walaupun jenis kejahatan ini belum terlalu banyak diketahui secara umum, namun The Federal Bureau of Investigation (FBI) dalam laporannya mengatakan bahwa tindak kejahatan yang dapat dikategorikan cyber crime telah meningkat empat kali lipat sejak tiga tahun belakangan ini14, dimana pada tahun 1998 saja telah tercatat lebih dari 480 kasus cyber crime di Amerika Serikat. Hal ini telah menimbulkan kecemasan lebih dari 2/3 warga Amerika Serikat.
Cyber crime sendiri memiliki berbagai macam interpretasi. Sering diidentikkan dengan computercrime. The U.S. Department of Justice memberikan pengertian computer crime sebagai: “…any illegal act requiring knowledge of computer technology for its perpetration, investigation, or prosecution”. Computer crimepun dapat diartikan sebagai kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara ilegal15. Dari beberapa pengertian di atas, computer crime dirumuskan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan memakai komputer sebagai sarana/alat atau komputer sebagai obyek, baik untuk memperoleh keuntungan ataupun tidak, dengan merugikan pihak lain. Secara ringkas computer crime didefinisikan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan teknologi yang canggih16 .Ada kontradiksi yang sangat mencolok untuk menindak kejahatan seperti ini. Dalam hukum diperlukan adanya kepastian termasuk mengenai alat bukti kejahatan, tempat kejahatan dan korban dari tindak kejahatan tersebut, sedangkan dalam computer crime ini semuanya serba maya, lintas negara dan lintas waktu.
Meskipun begitu ada upaya untuk memperluas pengertian komputer agar dapat melingkupi segala kejahatan di internet dengan peralatan apapun, seperti pengertian computer dalam The Proposed West Virginia Computer Crime Act, yaitu: “an electronic, magnetic, optical, electrochemical, or;
Cyber Sabotage and Extortion.
Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, pengrusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer ataupun suatu program tertentu, sehingga data, program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang diperintahkan oleh pelaku.
Offense against Intellectual Property
Kejahatan ini ditujukan terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual yang dimiliki pihak lain di internet.
Infringements of Privacy
Kejahatan ini ditujukan terhadap informasi seseorang yang merupakan hal yang sangat pribadi dan rahasia. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang yang tersimpan pada formulir data pribadi yang tersimpan secara computerized, yang apabila diketahui orang lain maka dapat merugikan korban baik secara materiil maupun immateriil.
Pada perkembangannya dalam cyber crime sendiri kemudian menimbulkan istilah-istilah baru bagi para pelakunya. Mereka yang suka “memainkan” internet, menjelajah ke situs internet orang lain disebut “Hecker” dan perbuatannya disebut “Hacking”. Apabila si hecker yang penyusup dan penyeludup ke situs orang lain itu dan merusak disebut sebagai “Cracker”. “Hecker” yang menjelajah berbagai situs dan “mengintip” data, tetapi tidak merusak sistem komputer, situs-situs orang atau lembaga lain disebut “Hektivism”. Akhir-akhir ini dapat dikatakan motivasi uang yang paling menonjol, yaitu dengan menggunakan data kartu kredit orang lain untuk belanja lewat internet. Cara mereka disebut “carder” beroleh data kartu kredit adalah dengan menadah data dari transaksi konvensional, misalnya pembayaran di hotel, biro wisata, restoran, toko dan lain-lain.
Kendati kejahatan ini kerap terjadi namun hingga sekarang belum ada pilar hukum paling ampuh untuk menangani kasus-kasusnya, bahkan perkembangan kejahatan di dunia cyber semakin dahsyat. Selain menggunakan piranti canggih, modus kejahatan cyber juga tergolong rapi. Begitu hebatnya kejahatan ini bahkan dapat meresahkan dunia internasional. Dinamika cybercrime memang cukup rumit. Sebab, tidak mengenal batas negara dan wilayah. Selain itu, waktu kejahatannya pun sulit ditentukan. Lengkap sudah fenomena Cyber Crime untuk menduduki peringkat calon kejahatan terbesar di masa mendatang. Lalu bagaimana upaya antisipasinya di Indonesia?

sumber.
Penulis: Teguh Arifiyadi, SH (Inspektorat Jenderal Depkominfo)



DEFINISI PENGERTIAN DAN JENIS-JENIS CYBERCRIME BERIKUT MODUS OPERANDINYA

Defenisi dan Pengertian Cyber Crime

Dalam beberapa literatur, cybercrime sering diidentikkan sebagai computer crime. The U.S. Department of Justice memberikan pengertian Computer Crime sebagai: "… any illegal act requiring knowledge of Computer technology for its perpetration, investigation, or prosecution". Pengertian lainnya diberikan oleh Organization of European Community Development, yaitu: "any illegal, unethical or unauthorized behavior relating to the automatic processing and/or the transmission of data". Andi Hamzah dalam bukunya “Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer” (1989) mengartikan cybercrime sebagai kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara ilegal. Sedangkan menurut Eoghan Casey “Cybercrime is used throughout this text to refer to any crime that involves computer and networks, including crimes that do not rely heavily on computer“.

Jenis-jenis Katagori CyberCrime


Eoghan Casey mengkategorikan cybercrime dalam 4 kategori yaitu:

1. A computer can be the object of Crime.
2. A computer can be a subject of crime.
3. The computer can be used as the tool for conducting or planning a crime.
4. The symbol of the computer itself can be used to intimidate or deceive.



Polri dalam hal ini unit cybercrime menggunakan parameter berdasarkan dokumen kongres PBB tentang The Prevention of Crime and The Treatment of Offlenderes di Havana, Cuba pada tahun 1999 dan di Wina, Austria tahun 2000, menyebutkan ada 2 istilah yang dikenal :

1. Cyber crime in a narrow sense (dalam arti sempit) disebut computer crime: any illegal behaviour directed by means of electronic operation that target the security of computer system and the data processed by them.

2. Cyber crime in a broader sense (dalam arti luas) disebut computer related crime: any illegal behaviour committed by means on relation to, a computer system offering or system or network, including such crime as illegal possession in, offering or distributing information by means of computer system or network.



Dari beberapa pengertian di atas, cybercrime dirumuskan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan memakai jaringan komputer sebagai sarana/ alat atau komputer sebagai objek, baik untuk memperoleh keuntungan ataupun tidak, dengan merugikan pihak lain.



MODUS OPERANDI CYBER CRIME

Kejahatan yang berhubungan erat dengan penggunaan teknologi yang berbasis komputer dan jaringan telekomunikasi ini dikelompokkan dalam beberapa bentuk sesuai modus operandi yang ada, antara lain:

1. Unauthorized Access to Computer System and Service

Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam suatusistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya. Biasanya pelaku kejahatan (hacker) melakukannya dengan maksud sabotase ataupun pencurian informasi penting dan rahasia. Namun begitu, ada juga yang melakukannya hanya karena merasa tertantang untuk mencoba keahliannya menembus suatu sistem yang memiliki tingkat proteksi tinggi. Kejahatan ini semakin marak dengan berkembangnya teknologi Internet/intranet. Kita tentu belum lupa ketika masalah Timor Timur sedang hangat-hangatnya dibicarakan di tingkat internasional, beberapa website milik pemerintah RI dirusak oleh hacker (Kompas, 11/08/1999). Beberapa waktu lalu, hacker juga telah berhasil menembus masuk ke dalam data base berisi data para pengguna jasa America Online (AOL), sebuah perusahaan Amerika Serikat yang bergerak dibidang ecommerce yang memiliki tingkat kerahasiaan tinggi (Indonesian Observer, 26/06/2000). Situs Federal Bureau of Investigation (FBI) juga tidak luput dari serangan para hacker, yang mengakibatkan tidak berfungsinya situs ini beberapa waktu lamanya (http://www.fbi.org).

2. Illegal Contents
Merupakan kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke Internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum. Sebagai contohnya, pemuatan suatu berita bohong atau fitnah yang akan menghancurkan martabat atau harga diri pihak lain, hal-hal yang berhubungan dengan pornografi atau pemuatan suatu informasi yang merupakan rahasia negara, agitasi dan propaganda untuk melawan pemerintahan yang sah dan sebagainya.

3. Data Forgery
Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scripless document melalui Internet. Kejahatan ini biasanya ditujukan pada dokumen-dokumen e-commerce dengan membuat seolah-olah terjadi "salah ketik" yang pada akhirnya akan menguntungkan pelaku karena korban akan memasukkan data pribadi dan nomor kartu kredit yang dapat saja disalah gunakan.

4. Cyber Espionage
Merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan Internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer network system) pihak sasaran. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap saingan bisnis yang dokumen ataupun data pentingnya (data base) tersimpan dalam suatu sistem yang computerized (tersambung dalam jaringan komputer)

5. Cyber Sabotage and Extortion
Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan Internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer ataupun suatu program tertentu, sehingga data, program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku.

6. Offense against Intellectual Property
Kejahatan ini ditujukan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki pihak lain di Internet. Sebagai contoh, peniruan tampilan pada web page suatu situs milik orang lain secara ilegal, penyiaran suatu informasi di Internet yang ternyata merupakan rahasia dagang orang lain, dan sebagainya.

7. Infringements of Privacy
Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang yang tersimpan pada formulir data pribadi yang tersimpan secara computerized, yang apabila diketahui oleh orang lain maka dapat merugikan korban secara materil maupun immateril, seperti nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, cacat atau penyakit tersembunyi dan sebagainya.





Penulis : Balian Zahab., S.H.
Website : http://balianzahab.wordpress.com/ | Diskusi dan Konsultasi Masalah Hukum

Selasa, 09 Maret 2010

pengertian etika profesi

1.1 Pengertian Etika dan Etika Profesi
Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos
(bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.
Menurut Martin [1993], etika didefinisikan sebagai “the discipline which can act as the performance index or reference for our control system”.
Etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial(profesi) itu sendiri.
Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat “built-in mechanism” berupa kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalah-gunaan keahlian (Wignjosoebroto, 1999).
Sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya.

1.2 Etika dan Estetika
Etika disebut juga filsafat moral adalah cabang filsafat yang berbicara tentang praxis (tindakan) manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak. Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma.

Norma ini masih dibagi lagi menjadi norma hukum, norma moral, norma agama dan norma sopan santun. Norma hukum berasal dari hukum dan perundang- undangan, norma agama berasal dari agama sedangkan norma moral berasal dari suara batin. Norma sopan santun berasal dari kehidupan sehari-hari sedangkan norma moral berasal dari etika.

1.3 Etika dan Etiket
Etika (ethics) berarti moral sedangkan etiket (etiquette) berarti sopan santun. Persamaan antara etika dengan etiket yaitu:
• Etika dan etiket menyangkut perilaku manusia. Istilah tersebut dipakai mengenai manusia tidak mengenai binatang karena binatang tidak mengenal etika maupun etiket.
• Kedua-duanya mengatur perilaku manusia secara normatif artinya memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yag harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Justru karena sifatnya normatif maka kedua istilah tersebut sering dicampuradukkan.

Perbedaan antara etika dengan etiket
1. Etiket menyangkut cara melakukan perbuatan manusia. Etiket menunjukkan cara yang tepat artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalam sebuah kalangan tertentu.Etika tidak terbatas pada cara melakukan sebuah perbuatan, etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut masalah apakah sebuah perbuatan boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
2. Etiket hanya berlaku untuk pergaulan.Etika selalu berlaku walaupun tidak ada orang lain. Barang yang dipinjam harus dikembalikan walaupun pemiliknya sudah lupa.
3. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam sebuah kebudayaan, dapat saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain.Etika jauh lebih absolut. Perintah seperti “jangan berbohong”, “jangan mencuri” merupakan prinsip etika yang tidak dapat ditawar-tawar.
4. Etiket hanya memadang manusia dari segi lahiriah saja sedangkan etika memandang manusia dari segi dalam. Penipu misalnya tutur katanya lembut, memegang etiket namun menipu. Orang dapat memegang etiket namun munafik sebaliknya seseorang yang berpegang pada etika tidak mungkin munafik karena seandainya dia munafik maka dia tidak bersikap etis. Orang yang bersikap etis adalah orang yang sungguh-sungguh baik.

1.4 Etika dan Ajaran Moral
Etika perlu dibedakan dari moral. Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat pada sekelompok manusia. Ajaran moral mengajarkan bagaimana orang harus hidup. Ajaran moral merupakan rumusan sistematik terhadap anggapan tentang apa yang bernilai serta kewajiban manusia.

Etika merupakan ilmu tentang norma, nilai dan ajaran moral. Etika merupakan filsafat yang merefleksikan ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai 5 ciri khas yaitu bersifat rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif (tidak sekadar melaporkan pandangan moral melainkan menyelidiki bagaimana pandangan moral yang sebenarnya).

Pluralisme moral diperlukan karena:
1. pandangan moral yang berbeda-beda karena adanya perbedaan suku,daerah budaya dan agama yang hidup berdampingan;
2. modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur dan nilai kebutuhan masyarakat yang akibatnya menantang pandangan moral tradisional;
3. berbagai ideologi menawarkan diri sebagai penuntun kehidupan, masing-masing dengan ajarannya sendiri tentang bagaimana manusia harus hidup.
Etika sosial dibagi menjadi:
• Sikap terhadap sesama;
• Etika keluarga;
• Etika profesi, misalnya etika untuk dokumentalis, pialang informasi;
• Etika politik;
• Etika lingkungan hidup; serta
• Kritik ideologi.

Moralitas
Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat di antara sekelompok manusia. Adapun nilai moral adalah kebaikan manusia sebagai manusia.

Norma moral adalah tentang bagaimana manusia harus hidup supaya menjadi baik sebagai manusia. Ada perbedaan antara kebaikan moral dan kebaikan pada umumnya. Kebaikan moral merupakan kebaikan manusia sebagai manusia sedangkan kebaikan pada umumnya merupakan kebaikan manusia dilihat dari satu segi saja, misalnya sebagai suami atau isteri.

Moral berkaitan dengan moralitas. Moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau sopan santun. Moralitas dapat berasal dari sumber tradisi atau adat, agama atau sebuah ideologi atau gabungan dari beberapa sumber.

Pluralisme moral
Etika bukan sumber tambahan moralitas melainkan merupakan filsafat yang mereflesikan ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai lima ciri khas yaitu rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif.

Rasional berarti mendasarkan diri pada rasio atau nalar, pada argumentasi yang bersedia untuk dipersoalkan tanpa perkecualian. Kritis berarti filsafat ingin mengerti sebuah masalah sampai ke akar-akarnya, tidak puas dengan pengertian dangkal. Sistematis artinya membahas langkah demi langkah. Normatif menyelidiki bagaimana pandangan moral yang seharusnya.
Etika dan Agama
Etika tidak dapat menggantikan agama. Agama merupakan hal yang tepat untuk memberikan orientasi moral. Pemeluk agama menemukan orientasi dasar kehidupan dalam agamanya. Akan tetapi agama itu memerlukan ketrampilan etika agar dapat memberikan orientasi, bukan sekadar indoktrinasi. Hal ini disebabkan empat alasan sebagai berikut:
1. Orang agama mengharapkan agar ajaran agamanya rasional. Ia tidak puas mendengar bahwa Tuhan memerintahkan sesuatu, tetapi ia juga ingin mengerti mengapa Tuhan memerintahkannya. Etika dapat membantu menggali rasionalitas agama.
2. Seringkali ajaran moral yang termuat dalam wahyu mengizinkan interpretasi yang saling berbeda dan bahkan bertentangan.
3. Karena perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan masyarakat maka agama menghadapi masalah moral yang secara langsung tidak disinggung- singgung dalam wahyu. Misalnya bayi tabung, reproduksi manusia dengan gen yang sama.
4. Adanya perbedaan antara etika dan ajaran moral. Etika mendasarkan diri pada argumentasi rasional semata-mata sedangkan agama pada wahyunya sendiri. Oleh karena itu ajaran agama hanya terbuka pada mereka yang mengakuinya sedangkan etika terbuka bagi setiap orang dari semua agama dan pandangan dunia.

1.5 Istilah berkaitan
Kata etika sering dirancukan dengan istilah etiket, etis, ethos, iktikad dan kode etik atau kode etika. Etika adalah ilmu yang mempelajari apa yang baik dan buruk. Etiket adalah ajaran sopan santun yang berlaku bila manusia bergaul atau berkelompok dengan manusia lain. Etiket tidak berlaku bila seorang manusia hidup sendiri misalnya hidup di sebuah pulau terpencil atau di tengah hutan.
Etis artinya sesuai dengan ajaran moral, misalnya tidak etis menanyakan usia pada seorang wanita. Ethos artinya sikap dasar seseorang dalam bidang tertentu. Maka ada ungkapan ethos kerja artinya sikap dasar seseorang dalam pekerjaannya, misalnya ethos kerja yang tinggi artinya dia menaruh sikap dasar yang tinggi terhadap pekerjaannya. Kode atika atau kode etik artinya daftar kewajiban dalam menjalankan tugas sebuah profesi yang disusun oleh anggota profesi dan mengikat anggota dalam menjalankan tugasnya.


PROFESI, KODE ETIK DAN PROFESIONALISME

Definisi Profesi:
Profesi merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan ketrampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia, di dalamnya pemakaian dengan cara yang benar akan ketrampilan dan keahlian tinggi, hanya dapat dicapai dengan dimilikinya penguasaan pengetahuan dengan ruang lingkup yang luas, mencakup sifat manusia, kecenderungan sejarah dan lingkungan hidupnya; serta adanya disiplin etika yang dikembangkan dan diterapkan oleh kelompok anggota yang menyandang profesi tersebut.

Tiga (3) Ciri Utama Profesi
1. Sebuah profesi mensyaratkan pelatihan ekstensif sebelum memasuki sebuah profesi;
2. Pelatihan tersebut meliputi komponen intelektual yang signifikan;
3. Tenaga yang terlatih mampu memberikan jasa yang penting kepada masyarakat.

Tiga (3) Ciri Tambahan Profesi
1. Adanya proses lisensi atau sertifikat;
2. Adanya organisasi;
3. Otonomi dalam pekerjaannya.

Tiga Fungsi dari Kode Etik Profesi
1. Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan;
2. Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan;
3. Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak diluar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi

Etika terbagi atas 2 bidang besar
1. Etika umum
1.1 Prinsip;
1.2 Moral.
2. Etika khusus
2.1 Etika Individu;
2.2 Etika Sosial.

Etika sosial yang hanya berlaku bagi kelompok profesi tertentu disebut kode etika atau kode etik.

Kode Etik

Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik, dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari.
Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional.
Sifat Kode Etik Profesional

Sifat dan orientasi kode etik hendaknya:
1. Singkat;
2. Sederhana;
3. Jelas dan Konsisten;
4. Masuk Akal;
5. Dapat Diterima;
6. Praktis dan Dapat Dilaksanakan;
7. Komprehensif dan Lengkap, dan
8. Positif dalam Formulasinya.

Orientasi Kode Etik hendaknya ditujukan kepada:
1. Rekan,
2. Profesi,
3. Badan,
4. Nasabah/Pemakai,
5. Negara, dan
6. Masyarakat.
Kode Etik Ilmuwan Informasi

Pada tahun 1895 muncullah istilah dokumentasi sedangkan orang yang bergerak dalam bidang dokumentasi menyebut diri mereka sebagai dokumentalis, digunakan di Eropa Barat.

Di AS, istilah dokumentasi diganti menjadi ilmu informasi; American Documentation Institute (ADI) kemudian diganti menjadi American Society for Information (ASIS). ASIS Professionalism Committee yang membuat rancangan ASIS Code of Ethics for Information Professionals.

Kode etik yang dihasilkan terdiri dari preambul dan 4 kategori pertanggungan jawab etika, masing-masing pada pribadi, masyarakat, sponsor, nasabah atau atasan dan pada profesi.

Kesulitan menyusun kode etik menyangkut (a) apakah yang dimaksudkan dengan kode etik dan bagaimana seharunya; (b) bagaimana kode tersebut akan digunakan; (c) tingkat rincian kode etik dan (d) siapa yang menjadi sasaran kode etik dan kode etik diperuntukkan bagi kepentingan siapa.

Profesionalisme

Profesionalisme adalah suatu paham yang mencitakan dilakukannya kegiatan-kegiatan kerja tertentu dalam masyarakat, berbekalkan keahlian yang tinggi dan berdasarkan rasa keterpanggilan –serta ikrar untuk menerima panggilan tersebut– dengan semangat pengabdian selalu siap memberikan pertolongan
kepada sesama yang tengah dirundung kesulitan di tengah gelapnya kehidupan
(Wignjosoebroto, 1999).

Tiga Watak Kerja Profesionalisme
1. kerja seorang profesional itu beritikad untuk merealisasikan kebajikan demi tegaknya kehormatan profesi yang digeluti, dan oleh karenanya tidak terlalu mementingkan atau mengharapkan imbalan upah materiil;
2. kerja seorang profesional itu harus dilandasi oleh kemahiran teknis yang berkualitas tinggi yang dicapai melalui proses pendidikan dan/atau pelatihan yang panjang, ekslusif dan berat;
3. kerja seorang profesional –diukur dengan kualitas teknis dan kualitas moral– harus menundukkan diri pada sebuah mekanisme kontrol berupa kode etik yang dikembangkan dan disepakati bersama di dalam sebuah organisasi profesi.

Menurut Harris [1995] ruang gerak seorang profesional ini akan diatur melalui etika profesi yang distandarkan dalam bentuk kode etik profesi. Pelanggaran terhadap kode etik profesi bisa dalam berbagai bentuk, meskipun dalam praktek yang umum dijumpai akan mencakup dua kasus utama, yaitu:
a. Pelanggaran terhadap perbuatan yang tidak mencerminkan respek terhadap nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi oleh profesi itu. Memperdagangkan jasa atau membeda-bedakan pelayanan jasa atas dasar keinginan untuk mendapatkan keuntungan uang yang berkelebihan ataupun kekuasaan merupakan perbuatan yang sering dianggap melanggar kode etik profesi;
b. Pelanggaran terhadap perbuatan pelayanan jasa profesi yang kurang mencerminkan kualitas keahlian yang sulit atau kurang dapat dipertanggung-jawabkan menurut standar maupun kriteria profesional.

ETIKA PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI
Dampak pemanfaatan teknologi informasi yang kurang tepat sebagai berikut (I Made Wiryana):
? Rasa takut;
? Keterasingan;
? Golongan miskin informasi dan minoritas;
? Pentingnya individu;
? Tingkat kompleksitas serta kecepatan yang sudah tidak dapat ditangani;
? Makin rentannya organisasi;
? Dilanggarnya privasi;
? Pengangguran dan pemindahan kerja;
? Kurangnya tanggung jawab profesi;
? Kaburnya citra manusia.

Beberapa langkah untuk menghadapi dampak pemanfaatan TI (I Made Wiryana):
a. Desain yang berpusat pada manusia;
b. Dukungan organisasi;
c. Perencanaan pekerjaan;
d. Pendidikan;
e. Umpan balik dan imbalan;
f. Meningkatkan kesadaran publik;
g. Perangkat hukum;
h. Riset yang maju.




sumber : http://felix3utama.wordpress.com/2008/12/01/pengertian-dalam-etika-profesi

Kamis, 10 Desember 2009

Bab 3 Layanan Telematika

Layanan Telematika terdiri dari :

  1. Layanan Informasi

Teknologi telematika yang merupakan konvergensi dari telekomunikasi, teknologi informasi dan penyiaran memungkinkan terlaksananya aktivitas perekonomian dan sosial kemasyarakatan dengan lebih baik.

2. Layanan Context- Aware dan Event Base

Perangkat komputer memiliki kepekaan dan dapat bereaksi terhadap lingkungan sekitarnya berdasarkan informasi dan aturan-aturan tertentu yang tersimpan di dalam perangkat.

Tiga hal yang menjadi perhatian sistem context-aware menurut Albrecht Schmidt, yaitu:

1. The acquisition of context

Hal ini berkaitan dengan pemilihan konteks dan bagaimana cara memperoleh konteks yang diinginkan.

2. The abstraction and understanding of context

Pemahaman terhadap bagaimana cara konteks yang dipilih berhubungan dengan kondisi nyata, bagaimana informasi yang dimiliki suatu konteks dapat membantu meningkatkan kinerja aplikasi, dan bagaimana tanggapan sistem dan cara kerja terhadap inputan dalam suatu konteks.

3. Application behaviour based on the recognized context

Dua hal yang paling penting adalah bagaimana pengguna dapat memahami sistem dan tingkah lakunya yang sesuai dengan konteks yang dimilikinya serta bagaimana caranya memberikan kontrol penuh kepada pengguna terhadap sistem.

3. Layanan Keamanan

4. Layanan Perbaikan Sumber

posted by : Dian Safitri