Indonesia, HMI dan Krisis Kepemimpinan Kita
Enam puluh tahun lalu, tepatnya 5 Februari 1947, Himpunan Mahasiswa Islam didirikan oleh Lafran Pane dan beberapa orang sahabatnya. Sebuah ikhtiar mulia yang dimaksudkan untuk membantu perjuangan negara ini mengisi kemerdekaan melalui jalur kebangsaan dan keummatan. Tak pelak, salah satunya karena landasan perjuangan “model” inilah HMI kemudian mendapat “tempat” di hati para mahasiswa islam di Indonesia.
Sebagai salah satu organisasi kemahasiswaan terbesar sekaligus tertua di Indonesia, HMI senantiasa bergelut dengan dinamika kesejarahan bangsa ini. Karena memiliki kuantitas anggota dengan mekanisme kaderisasi tersendiri, HMI niscaya melahirkan banyak kader yang memiliki kualitas yang tidak bisa dianggap sepele. Dalam kancah kebangsaan, kader-kader HMI senantiasa mewarnai. Begitu pun di banyak bidang kebangsaan lainnya.
Sebaran kader HMI ini sekaligus memberi efek resiproksial terhadap eksistensi HMI sebagai sebuah institusi tersendiri. Alumni-alumni HMI banyak mengisi posisi-posisi structural pemerintahan, ekonomi, politik dan social kemasyarakatan lainnya. Ikatan emosional yang sangat kuat antara “kanda” dan “dinda” di HMI menemui relungnya ketika ada kebutuhan antara masing-masing entitas, baik secara personal maupun institusional.
Kesejarahan HMI dengan KAHMI (Korps Alumni HMI) – sebuah institusi kealumnian HMI yang independen – pada akhirnya dapat dipandang sebagai sebuah “kemesraan” institusional dan emosional yang – pada beberapa kasus, justru melahirkan polemik baru. Mulai dari beragam pertanyaan yang menggugat independensi institusi HMI, hingga persoalan kualitas kader yang tidak lagi seperti pada awal-awal pergerakan HMI; militan, cerdas dan istiqomah, – akibat semakin pudarnya perhatian institusi terhadap kebutuhan internal akan kaderisasi, sekaligus menggambarkan pengaruh eksternal kelembagaan yang tidak mampu difiltrasi secara adekuat.
Pada gilirannya, sudah hampir bisa ditebak, kebesaran nama HMI bukan lagi terletak pada kualitas kader-kadernya, tetapi justru mulai bergeser pada kuantitas keanggotaan saja. HMI perlahan mulai menapaki aras kemunduran.
Kelemahan yang kemudian justru mengkhawatirkan adalah relatif tidak disadarinya “kemunduran” ini pada tingkatan internal HMI. Sebagian besar kader-kader HMI masih terbuai kebesaran nama HMI sebagaimana dituliskan sejarah. Sebuah euphoria yang cukup menyesatkan, terlebih ketika dihadapkan dengan realitas kebangsaan sekarang ini pada mana kualitas kader menjadi kebutuhan untuk bisa eksis dan menjalankan peran sebagai kader.
HMI Paska Reformasi
Pada saat yang sama, ketika HMI kita sadari sedang mengalami “kemunduran”, tantangan kebangsaan justru semakin besar. Sejak genderang reformasi ditabuh pada tahun 1998, perjalanan bangsa ini tak kunjung henti dilanda masalah. Kedukaan melanda hampir setiap generasi.
Bukan saja malnutrisi yang semakin merajalela, melainkan hingga pada massifnya kemiskinan (financial-intelektual-emosional-spiritual) rakyat akibat lemahnya daya dukung negara bagi warganya. Pada keadaan tertentu, terlihat negara seakan sedang melakukan praktek “pembiaran” (state neglect) terhadap semua masalah yang ada.
Dinamika kebangsaan yang senantiasa bergolak, dengan iklim sosial-politik yang semakin kompleks, justru diperparah dengan krisis keteladanan pada pemimpin-pemimpin kita. Ironi yang menyakitkan. Pada saat rakyat hampir kehilangan pegangan, justru pemimpin-pemimpin kita secara bersemangat mengeksplorasi sumber daya yang ada, tanpa pernah berpikir bahwa negeri ini masih menyisakan banyak sekali generasi muda yang kelak akan menerima “dampak” perbuatan mereka.
Apa yang dibayangkan rakyat sebagai “orde reformasi” – supremasi hukum, clean government, pekerjaan layak, pendidikan dan kesehatan terakses – akhirnya hanya berbuah fatamorgana, sebagaimana Iwan Fals menyebutnya sebagai hanya “orde yang paling baru”. Tidak banyk yang signifikan berubah. Mental kita masih jauh dari bisa diandalkan membawa bangsa ini menghindari keterpurukan. Kita masih bergulat dengan krisis, terutama krisis kepemimpinan.
Di mana generasi muda pro reformasi itu? Pertanyaan yang menarik. Ternyata perjuangan mahasiswa yang mewakili generasi pro-reformasi mulai simpang-siur sejak implementasi otonomi daerah. Di banyak wilayah, organisasi kemahasiswaan menjadi sangat mudah terbelah hanya karena perbedaan garis politik – sebuah pilihan yang seharusnya diambil secara sadar – dari kandidat yang mereka gusung untuk slogan “perbaikan” daerahnya.
Tak dapat disangkal, implementasi otonomi daerah cukup mengganggu stabilitas pergerakan mahasiswa di tingkatan nasional. Ini menjadi salah satu alasan yang cukup masuk akal ketika kita hubungkan dengan sangat lemahnya proses pengawalan dan pengawasan agenda reformasi oleh mahasiswa.
Demarkasi kampus dengan wilayah politik praktis di daerahnya semakin samar dan membuahkan banyak aktivis mahasiswa menjadi (sangat) oportunistik; mau cari untung sendiri. Kondisi ini benar-benar menggambarkan betapa secara internal, sebenarnya mahasiswa belum cukup siap dengan agenda reformasi yang sebelumnya mereka gusung beramai-ramai. Meski bukan secara keseluruhan, pada tingkatan lokal, mahasiswa tidak bisa berbuat banyak, apatah lagi untuk skala nasional.
Kita boleh menilai realitas ini sebagai sebuah arena dimana siapa pun pemegang kekuasaan akan menjadi seenaknya saja berbuat. Bisa kita bayangkan lemahnya advokasi dan kritisisasi terhadap aneka kebijakan pemerintah yang nyata-nyata bertolak belakang dengan agenda reformasi sebelumnya. Semua pihak seakan mencari selamat sendiri-sendiri. Juga (barangkali), keuntungan sendiri-sendiri. Termasuk mahasiswa, meski tidak keseluruhannya.
Milad HMI
Sebagai organisasi kemahasiswaan yang selalu berjalan seiring dengan sejarah kebangsaan ini, tentunya HMI memiliki kontribusi yang cukup penting di dalamnya. Bukan saja kontribusi positif, melainkan juga sejumlah kontribusi negatif yang dengan lapang dada mesti diterima dan diakui. Banyaknya kader HMI yang memegang peran penting dalam struktur pemerintahan/birokrasi, politik dan ekonomi serta di banyak bidang lainnya, tentu juga membuka peluang besar untuk terjadinya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme antar sesama kader atau alumni HMI. Sebuah realitas yang secara runtut juga sedikit demi sedikit mulai dipraktekkan oleh kader-kader muda HMI pada levelnya masing-masing.
Kerentanan seperti ini seharusnya menjadi bahan introspeks bagi HMI secara khusus dan organisasi perjuangan lainnya secara umum. Keadaan ini meniscayakan hadirnya sebuah kekuatan alternatif yang senantiasa kukuh memegang khittah pergerakannya. Konsistensi peran dan fungsi dalam perjalanan kebangsaan ini, tak dapat dimungkiri, pernah dilakoni HMI, dan tidak mustahil juga bisa tetap diaktori hingga masa-masa mendatang asalkan segera dilakukan evaluasi dan proyeksi secara internal dalam tubuh HMI. Satu hal yang sangat penting adalah bahwa segala bentuk evaluasi terhadap HMI mesti dilakukan secara jujur dan bijaksana, juga tanpa tendensi. Semua pihak mesti diberi kesempatan untuk mengevaluasi HMI, termasuk juga mereka yang bukan berasal dari HMI.
Momentum keorganisasian HMI secara internal dapat dipandang menjadi wahana strategis untuk mulai melakukan retrospektif; mengevaluasi perjalanan kelembagaan untuk dijadikan pelajaran bagi kelanjutan eksistensi HMI pada masa mendatang. Keniscayaan retrospektif ini berlaku pada semua tingkatan struktural HMI, mulai dari Komisariat, Koordinator Komisariat, Cabang, Badan Koordinasi hingga Pengurus Besar tak terkecuali.
Milad Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang ke-60 tahun ini seharusnya dijadikan titik tolak membenahi diri (internal) sebelum terjun (lagi) dalam kancah kebangsaan. Jika harus ekstrim, HMI (barangkali) perlu mengeluarkan instruksi kelembagaan kepada semua kader untuk senatiasa menjaga dan mempertahankan citra ke-HMI-an dalam pribadi dan keseharian mereka.
Kader HMI sudah seharusnya menjadi panutan dan suri tauladan bagi masyarakat di lingkungannya. HMI seharusnya sudah mampu melakoni perubahan dan mengaktori ritme perbaikan di negeri mayoritas muslim ini. Kita barangkali sepakat, HMI memiliki tanggungjawab sejarah yang lebih besar dibandingkan dengan entitas pergerakan lainnya, khususnya dalam menjaga kontinuitas kebangsaan dan memerangi segala bentuk ketidakmerdekaan dalam kehidupan rakyat. Bukankah demikian?
Dengan segala harapan di atas, peringatan Milad HMI ke-60 minimal tidak lagi hanya menjadi seremonial yang miskin makna seperti sebelum-sebelumnya. Kita berharap besar, setidaknya milad kali ini kembali bisa menegaskan komitmen kita untuk memperjuangkan tercapainya tujuan kita ber-HMI. Bukan saatnya lagi, saya pikir, HMI dan kader-kadernya terus “mengangkangi” pekerjaan-pekerjaan yang bukan menjadi tujuan pembentukannya. Tujuan HMI sangat jelas, yaitu semata-mata agar terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
Dengan demikian, masihkah kita “rela” ber-HMI? Wallahau a’lam bisshawab.
sumber :
astaqauliyah.com/2007/02/indonesia-hmi-dan-krisis-kepemimpinan-kita
Senin, 17 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar