Senin, 17 Mei 2010

KETIKA ORGANISASI INTRA KAMPUS TERKONTAMINASI OLEH ZAMAN HEDONISME

sebagai salah satu kader HMI komisariat UNIVERSITAS GUNADARMA cab.DEPOK. saya merasa iba melihat mahasiswa sekarang saat ini yang kurang peduli dengan keadaan sekitar, dan terlalu acuh oleh semua kegiatan yang berbau organisasi...,apakah mereka bisa disebut mahasiswa??
kalau cuma belajar saja di lingkungan kampus tidak jauh beda dengan para pelajar smu, pada dasarnya mereka masuk salah satu universitas atau perguruan tinggi pola pikir mereka haruslah di rubah,apakah mereka tidak tau apa artinya seseorang mahasiswa? apakah mereka mengerti artinya TRIDHARMA PERGURUAN TINGGI???
mereka lebih senang berpola hidup shoping mania, clubing, dan pergaulan bebas yang tidak memperdulikan hidup bermasyarakat.
point pentingnya.
di kampus saya sulitnya regenerasi perputaran organisasi intra kampus terlihat lebih nyentrik,fenomena tidak pedulinya dengan kampus dan tidak ada yang mau menjadi pengurus BEM fakultas padahal papan informasi tentang pencalonan ketua BEM fakultas sudah jauh-jauh hari d'pampang, tapi tetap saja tidak ada peminatnya.

yakusa...
Mengapa HMI Terlihat Beringas?
Selasa, 09/03/2010 09:00 WIB - Sumantri

Dalam beberapa hari terakhir ini, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) seakan merebut panggung gerakan, utamanya gerakan mahasiswa. Sepanjang dua hari penuh sebuah televisi menayangkan secara langsung peristiwa yang melibatkan aktivis-aktivis HMI. Dari hanya sebuah kronik di Makasar, lalu menyebar ke seluruh wilayah di Indonesia, di mana cabang HMI nyaris selalu bisa ditemui.
Hanya sayang, peristiwa dimaksud adalah bentrok berkepanjangan antara aktivis HMI di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauidin Makassar dengan aparat keamanan, plus anggota masyarakat pascademo kasus Century. Kronologinya, mahasiswa yang demo di jalan depan kampus memblokir jalan tersebut. Konon sejumlah anggota masyarakat tidak terima, lalu menyerang demonstran. Bentrokan meluas. Mahasiswa yang bertahan di kampus baku lempar batu dengan aparat plus anggota masyarakat ini.
Namun, ternyata tidak berhenti sampai di sini. Sekretariat HMI diobrak-abrik aparat kepolisian berpakaian preman. Aktivis HMI ganti membalas dengan menyerbu kantor polisi terdekat dan merusaknya. Kehebohan berulang hingga seharian penuh kemudian, atau dua hari berturut-turut. Peristiwanya mirip rekaman kaset yang diputar ulang, mahasiswa yang bertahan di dalam kampus perang batu melawan sejumlah anggota masyarakat yang berjubel ribuan orang memenuhi jalan raya.
Aktivitas gerakan mahasiswa, termasuk para aktivis HMI, memang sedang giat-giatnya turun ke jalan terkait kasus bailout Century yang diduga menyeret Sri Mulyani dan Boediono. Berbagai demonstrasi, dari daerah hingga pusat, para aktivis HMI bagian dari yang paling aktif. Keuntungan tersendiri bagi HMI yang memiliki cabang sangat banyak (200 lebih) dan anggota mencapai ratusan ribu, sehingga jika digerakkan seluruhnya akan mengesankan HMI menguasai panggung perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. Modal sebesar ini tak banyak dimiliki oleh organisasi lain, termasuk yang mewadahi mahasiswa.
Tidak heran aksi solidaritas pun merebak, beberapa di antaranya diwarnai bentrok kecil-kecilan dengan aparat. Mulai dari Jakarta hingga Riau atau bahkan kota kecil macam Cianjur.
Penuh Perhitungan
Meskipun demikian, menarik mencermati adanya ribut-ribut yang melibatkan massa banyak di mana HMI menjadi aktor utamanya. HMI tidak memiliki, atau setidaknya sedikit saja, “gen” untuk bentrok apalagi pembuat onar dan kisruh macam yang terjadi di Makasar. Kecuali justru pada saat agenda-agenda internal sendiri, seperti Konfercab atau kongres yang biasa diwarnai kehebohan tertentu.
HMI dikenal sebagai organ mahasiswa yang penuh perhitungan dan selalu menimbang berbagai ekses saat melibatkan diri dalam isu-isu krusial. Pengalaman penulis, baik sebagai aktivis HMI maupun sesudahnya, tidak mudah bagi organisasi ini ikut dalam aliansi bersama organ mahasiswa lain. Untung ruginya dicermati dan dihitung betul guna menghindari organisasi tercebur atau terjebak situasi yang tak diinginkan.
Aktivis-aktivis HMI juga dibekali kemampuan retorika yang mumpuni sesuai tingkatannya. Pembahasan remeh menurut organ mahasiswa lain dapat menjadi perbincangan seru di HMI, meski berimbas pada penggunaan waktu yang berlebihan. HMI memang organisasi kader yang berkonsentrasi pada peningkatan kapasitas kader, terutama dalam hal kemampuan retorik.
Contoh sempurna produk HMI bisa kita sematkan pada sosok Anas Urbaningrum. Mantan Ketua Umum PB HMI ini dikenal sangat tenang saat menyikapi tuduhan-tuduhan paling miring sekalipun, baik pada atasannya yaitu Presiden SBY maupun Partai Demokrat, tempat dirinya bernaung. Dalam debat-debat panas di televisi, Anas selalu tampil dingin dan tak pernah terlihat meledak-ledak.
Selain itu, HMI memiliki koneksi teramat kuat dengan para alumninya yang berhimpun dalam KAHMI, organisasi alumni paling berpengaruh dibanding wadah serupa yang lain. Pengurus-pengurus HMI dari cabang sampai pusat biasanya berhubungan erat dengan sejumlah tokoh dan pejabat alumni HMI, yang biasanya berjumlah cukup banyak.
Gambaran ini dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa aktivis HMI bukanlah anak nakal, apalagi radikal macam aktivis dari organisasi mahasiswa beraliran kiri. HMI adalah contoh organisasi moderat dan selalu berada di tengah-tengah, sehingga terlihat kiri bagi pihak kanan, tapi juga kanan bagi pihak kiri.
Tapi, lalu kenapa belakangan HMI kelihatan beringas?
Beberapa Dugaan
Melihat latar belakang aktivis HMI yang biasanya tampil tenang, memang mengherankan, terutama bagi sesama aktivis gerakan mahasiswa, mendapati HMI dapat bertindak brutal. Mereka tiba-tiba berlaku seperti aktivis mahasiswa semasa gerakan reformasi 1998 yang tak segan bertarung fisik dengan aparat. Aktivis-aktivis HMI ini bagaikan tak mengenali lagi gennya sebagai organisasi moderat, yang secara sinis disebut oportunis.
Ada beberapa dugaan. Pertama, tempat kejadian memiliki pengaruh kuat. Makassar selama ini dikenal sebagai sumbu panas gerakan mahasiswa di mana nyaris demonstrasi diwarnai bentrokan luas. Tak pelak, HMI yang santun sekalipun terkena imbasnya. Berada dalam habitat gerakan yang terus membara, organ mahasiswa manapun terseret dalam ruang lingkup karakter yang mirip-mirip.
Kedua, seperti yang disampaikan Ketua Umum PB HMI Arip Musthopa, ada upaya kriminalisasi gerakan mahasiswa terkait kasus Century. Ada desain kelompok tertentu untuk mencoreng citra gerakan mahasiswa sebagai biang kerusuhan. Bisa ditebak, kelompok tertentu itu adalah pihak-pihak yang tidak senang kasus Century diusik terus-menerus, terutama oleh gerakan mahasiswa.
Indikasi penyerangan sekretariat HMI di Makassar yang salah satunya anggota Densus 88, bagi Arip, merupakan penanda jelas ada pihak berkepentingan agar kericuhan tak terhenti. Penyerangan itu merupakan provokasi agar peristiwa di hari sebelumnya berulang. Terlibatnya massa preman bukan warga lokal yang aktif menyerang mahasiswa sekitar kampus adalah tanda lainnya, yakni guna mengesankan masyarakat anti terhadap aksi-aksi mahasiswa.
Pilihan kenapa HMI yang disasar juga bukan tanpa alasan. Peta gerakan mahasiswa di satu sisi memang tidak lagi dikuasai komite-komite aksi independen seperti halnya di masa 1998 dan sesudahnya. Kelompok OKP tradisional macam HMI, GMNI, PMKRI dan lain-lain dengan sendirinya tampil ke depan. Di antara OKP-OKP ini, HMI merupakan organisasi paling berpengaruh.
Terlepas dari faktor-faktor eksternal tersebut, bisa jadi kebrutalan ini didorong oleh dinamika internal HMI sendiri. Setelah menikmati previlese puluhan tahun selama Orde Baru baik di kampus maupun di pemerintahan, semenjak reformasi HMI lumayan goyah dan menjadi bulan-bulanan organ mahasiswa lain yang merasa lebih proaktif menyikapi keadaan. Gejolak muda semoderat apapun pada waktu-waktu tertentu bakal terusik, manakala sejawatnya sesama aktivis mahasiswa lebih luwes melakukan respons politik.
Penguasaan kampus pun melalui BEM memudar oleh kehadiran KAMMI yang lebih terorganisasi dan sangat dominan di kampus-kampus negeri. Dengan demikian, ruang aktual HMI kian menyempit. Dengan kondisi ini, tanpa aktivitas memadai di wilayah eksternal jelas mengganggu eksistensi organisasi dan mudah dituduh terlalu tunduk pada para alumninya. Beberapa aktivis HMI mungkin saja gerah dengan kecenderungan macam begini.
Performa HMI sekarang, bahkan, tetap saja diselimuti kecurigaan akan adanya perintah dari para abang-abang KAHMI di Jakarta. Tuduhan dan kecurigaan ini tentu hanya para aktivis HMI yang bisa menjawabnya.

Oleh Joko Sumantri Mantan aktivis HMI
di Surakarta, bergiat di Komite Pusat Perhimpunan Rakyat
Pekerja, Jakarta
Indonesia, HMI dan Krisis Kepemimpinan Kita

Enam puluh tahun lalu, tepatnya 5 Februari 1947, Himpunan Mahasiswa Islam didirikan oleh Lafran Pane dan beberapa orang sahabatnya. Sebuah ikhtiar mulia yang dimaksudkan untuk membantu perjuangan negara ini mengisi kemerdekaan melalui jalur kebangsaan dan keummatan. Tak pelak, salah satunya karena landasan perjuangan “model” inilah HMI kemudian mendapat “tempat” di hati para mahasiswa islam di Indonesia.

Sebagai salah satu organisasi kemahasiswaan terbesar sekaligus tertua di Indonesia, HMI senantiasa bergelut dengan dinamika kesejarahan bangsa ini. Karena memiliki kuantitas anggota dengan mekanisme kaderisasi tersendiri, HMI niscaya melahirkan banyak kader yang memiliki kualitas yang tidak bisa dianggap sepele. Dalam kancah kebangsaan, kader-kader HMI senantiasa mewarnai. Begitu pun di banyak bidang kebangsaan lainnya.

Sebaran kader HMI ini sekaligus memberi efek resiproksial terhadap eksistensi HMI sebagai sebuah institusi tersendiri. Alumni-alumni HMI banyak mengisi posisi-posisi structural pemerintahan, ekonomi, politik dan social kemasyarakatan lainnya. Ikatan emosional yang sangat kuat antara “kanda” dan “dinda” di HMI menemui relungnya ketika ada kebutuhan antara masing-masing entitas, baik secara personal maupun institusional.

Kesejarahan HMI dengan KAHMI (Korps Alumni HMI) – sebuah institusi kealumnian HMI yang independen – pada akhirnya dapat dipandang sebagai sebuah “kemesraan” institusional dan emosional yang – pada beberapa kasus, justru melahirkan polemik baru. Mulai dari beragam pertanyaan yang menggugat independensi institusi HMI, hingga persoalan kualitas kader yang tidak lagi seperti pada awal-awal pergerakan HMI; militan, cerdas dan istiqomah, – akibat semakin pudarnya perhatian institusi terhadap kebutuhan internal akan kaderisasi, sekaligus menggambarkan pengaruh eksternal kelembagaan yang tidak mampu difiltrasi secara adekuat.

Pada gilirannya, sudah hampir bisa ditebak, kebesaran nama HMI bukan lagi terletak pada kualitas kader-kadernya, tetapi justru mulai bergeser pada kuantitas keanggotaan saja. HMI perlahan mulai menapaki aras kemunduran.

Kelemahan yang kemudian justru mengkhawatirkan adalah relatif tidak disadarinya “kemunduran” ini pada tingkatan internal HMI. Sebagian besar kader-kader HMI masih terbuai kebesaran nama HMI sebagaimana dituliskan sejarah. Sebuah euphoria yang cukup menyesatkan, terlebih ketika dihadapkan dengan realitas kebangsaan sekarang ini pada mana kualitas kader menjadi kebutuhan untuk bisa eksis dan menjalankan peran sebagai kader.

HMI Paska Reformasi
Pada saat yang sama, ketika HMI kita sadari sedang mengalami “kemunduran”, tantangan kebangsaan justru semakin besar. Sejak genderang reformasi ditabuh pada tahun 1998, perjalanan bangsa ini tak kunjung henti dilanda masalah. Kedukaan melanda hampir setiap generasi.

Bukan saja malnutrisi yang semakin merajalela, melainkan hingga pada massifnya kemiskinan (financial-intelektual-emosional-spiritual) rakyat akibat lemahnya daya dukung negara bagi warganya. Pada keadaan tertentu, terlihat negara seakan sedang melakukan praktek “pembiaran” (state neglect) terhadap semua masalah yang ada.

Dinamika kebangsaan yang senantiasa bergolak, dengan iklim sosial-politik yang semakin kompleks, justru diperparah dengan krisis keteladanan pada pemimpin-pemimpin kita. Ironi yang menyakitkan. Pada saat rakyat hampir kehilangan pegangan, justru pemimpin-pemimpin kita secara bersemangat mengeksplorasi sumber daya yang ada, tanpa pernah berpikir bahwa negeri ini masih menyisakan banyak sekali generasi muda yang kelak akan menerima “dampak” perbuatan mereka.

Apa yang dibayangkan rakyat sebagai “orde reformasi” – supremasi hukum, clean government, pekerjaan layak, pendidikan dan kesehatan terakses – akhirnya hanya berbuah fatamorgana, sebagaimana Iwan Fals menyebutnya sebagai hanya “orde yang paling baru”. Tidak banyk yang signifikan berubah. Mental kita masih jauh dari bisa diandalkan membawa bangsa ini menghindari keterpurukan. Kita masih bergulat dengan krisis, terutama krisis kepemimpinan.

Di mana generasi muda pro reformasi itu? Pertanyaan yang menarik. Ternyata perjuangan mahasiswa yang mewakili generasi pro-reformasi mulai simpang-siur sejak implementasi otonomi daerah. Di banyak wilayah, organisasi kemahasiswaan menjadi sangat mudah terbelah hanya karena perbedaan garis politik – sebuah pilihan yang seharusnya diambil secara sadar – dari kandidat yang mereka gusung untuk slogan “perbaikan” daerahnya.

Tak dapat disangkal, implementasi otonomi daerah cukup mengganggu stabilitas pergerakan mahasiswa di tingkatan nasional. Ini menjadi salah satu alasan yang cukup masuk akal ketika kita hubungkan dengan sangat lemahnya proses pengawalan dan pengawasan agenda reformasi oleh mahasiswa.

Demarkasi kampus dengan wilayah politik praktis di daerahnya semakin samar dan membuahkan banyak aktivis mahasiswa menjadi (sangat) oportunistik; mau cari untung sendiri. Kondisi ini benar-benar menggambarkan betapa secara internal, sebenarnya mahasiswa belum cukup siap dengan agenda reformasi yang sebelumnya mereka gusung beramai-ramai. Meski bukan secara keseluruhan, pada tingkatan lokal, mahasiswa tidak bisa berbuat banyak, apatah lagi untuk skala nasional.

Kita boleh menilai realitas ini sebagai sebuah arena dimana siapa pun pemegang kekuasaan akan menjadi seenaknya saja berbuat. Bisa kita bayangkan lemahnya advokasi dan kritisisasi terhadap aneka kebijakan pemerintah yang nyata-nyata bertolak belakang dengan agenda reformasi sebelumnya. Semua pihak seakan mencari selamat sendiri-sendiri. Juga (barangkali), keuntungan sendiri-sendiri. Termasuk mahasiswa, meski tidak keseluruhannya.

Milad HMI
Sebagai organisasi kemahasiswaan yang selalu berjalan seiring dengan sejarah kebangsaan ini, tentunya HMI memiliki kontribusi yang cukup penting di dalamnya. Bukan saja kontribusi positif, melainkan juga sejumlah kontribusi negatif yang dengan lapang dada mesti diterima dan diakui. Banyaknya kader HMI yang memegang peran penting dalam struktur pemerintahan/birokrasi, politik dan ekonomi serta di banyak bidang lainnya, tentu juga membuka peluang besar untuk terjadinya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme antar sesama kader atau alumni HMI. Sebuah realitas yang secara runtut juga sedikit demi sedikit mulai dipraktekkan oleh kader-kader muda HMI pada levelnya masing-masing.

Kerentanan seperti ini seharusnya menjadi bahan introspeks bagi HMI secara khusus dan organisasi perjuangan lainnya secara umum. Keadaan ini meniscayakan hadirnya sebuah kekuatan alternatif yang senantiasa kukuh memegang khittah pergerakannya. Konsistensi peran dan fungsi dalam perjalanan kebangsaan ini, tak dapat dimungkiri, pernah dilakoni HMI, dan tidak mustahil juga bisa tetap diaktori hingga masa-masa mendatang asalkan segera dilakukan evaluasi dan proyeksi secara internal dalam tubuh HMI. Satu hal yang sangat penting adalah bahwa segala bentuk evaluasi terhadap HMI mesti dilakukan secara jujur dan bijaksana, juga tanpa tendensi. Semua pihak mesti diberi kesempatan untuk mengevaluasi HMI, termasuk juga mereka yang bukan berasal dari HMI.

Momentum keorganisasian HMI secara internal dapat dipandang menjadi wahana strategis untuk mulai melakukan retrospektif; mengevaluasi perjalanan kelembagaan untuk dijadikan pelajaran bagi kelanjutan eksistensi HMI pada masa mendatang. Keniscayaan retrospektif ini berlaku pada semua tingkatan struktural HMI, mulai dari Komisariat, Koordinator Komisariat, Cabang, Badan Koordinasi hingga Pengurus Besar tak terkecuali.

Milad Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang ke-60 tahun ini seharusnya dijadikan titik tolak membenahi diri (internal) sebelum terjun (lagi) dalam kancah kebangsaan. Jika harus ekstrim, HMI (barangkali) perlu mengeluarkan instruksi kelembagaan kepada semua kader untuk senatiasa menjaga dan mempertahankan citra ke-HMI-an dalam pribadi dan keseharian mereka.

Kader HMI sudah seharusnya menjadi panutan dan suri tauladan bagi masyarakat di lingkungannya. HMI seharusnya sudah mampu melakoni perubahan dan mengaktori ritme perbaikan di negeri mayoritas muslim ini. Kita barangkali sepakat, HMI memiliki tanggungjawab sejarah yang lebih besar dibandingkan dengan entitas pergerakan lainnya, khususnya dalam menjaga kontinuitas kebangsaan dan memerangi segala bentuk ketidakmerdekaan dalam kehidupan rakyat. Bukankah demikian?

Dengan segala harapan di atas, peringatan Milad HMI ke-60 minimal tidak lagi hanya menjadi seremonial yang miskin makna seperti sebelum-sebelumnya. Kita berharap besar, setidaknya milad kali ini kembali bisa menegaskan komitmen kita untuk memperjuangkan tercapainya tujuan kita ber-HMI. Bukan saatnya lagi, saya pikir, HMI dan kader-kadernya terus “mengangkangi” pekerjaan-pekerjaan yang bukan menjadi tujuan pembentukannya. Tujuan HMI sangat jelas, yaitu semata-mata agar terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.

Dengan demikian, masihkah kita “rela” ber-HMI? Wallahau a’lam bisshawab.

sumber :
astaqauliyah.com/2007/02/indonesia-hmi-dan-krisis-kepemimpinan-kita